Selasa, 19 Agustus 2014

Antara Hujan dan Kita

Tak pernah aku mengerti, apa yang sebenarnya kurasakan. Mencoba selalu melupakan, tak menyebut namanya dalam setiap sujud malam keheningan, tapi mengapa tetap seperti semula.
Kuakui salah mencintai seseorang yang tidak meletakkan hatinya padaku. Bertubi-tubi harapan tersimpan darinya.

Telah berjanji pada diriku, tidak stalking lagi mengenai dirinya, yaah tapi semua kuingkari hanya untuk tahu bagaimana kabarnya di sana

Dia berbicara mengenai hujan?, kenapa harus hujan?, kenangan yang sempat menggerogoti rindu ini.

Sujud malamku menjadi tangis yang tak semestinya, meluapkan rasaku pada Sang Maha Cipta.

Tidak, aku sungguh tak berani menyebut nama itu lagi. Terlalu sakit.

Satu pertanyaan membuntutiku hingga kini.
Seperti apa perasaan dia yang sesungguhnya?
Terlalu berlebihankah aku?

Aku cemburu, saat dia berada dekat dengan yang lain.
Terkadang, aku menertawai diriku sendiri. Mempertahankan rasa yang bukan milikku.

Allah, tiada teman cerita selain diriMu.

Jumat, 01 Agustus 2014

Atap Untuk Mbok Sarwi

Rumah lusuh dan redup menjadi tempat penghidupan Mbok Sarwi serta keluarga. Buruh cuci menjadi pekerjaan setianya dari tahun ke tahun, begitu juga dengan suami Mbok Sarwi, Mang Pulung sangat giat membecak.
"Besok bibi ke rumah yah neng, jam 10," teriak Mbok Sarwi pada Rinai yang baru saja meninggalkan rumahnya.
"Iyah mbok, nanti Rinai sampein sama mama yah," balas Rinai dengan suara nyaring dari kejauhan.

Mbok Sarwi memandangi punggung Rinai yang kian mengecil dan hilang. Ia pun masuk dalam rumah berlantai kuning.
"Ma, kenapa ga libur aja dulu? Mama baru aja sembuh," tanya Iroh, anak pertama Mbok Sarwi.
"Ya, udah tugas pembantu. Insya Allah besok ga kenapa-kenapa," jelasnya.

Bulan ramadhan, merupakan bulan berkah bagi setiap keluarga. THR dari majikan ia gunakan untuk membayar sewa rumah selama sebulan.
Ada hal yang mengganjal di hatinya, tapi selalu saja disingkirkan karena kebutuhan rumah tangga yang menumpuk tak terpenuhi.

"Ma, kenapa kita ga renovasi rumah aja ?," pinta Iroh memelas.

"Uang dari mana, Roh?. Urusan renovasi harus dari yang punya," jawabnya kesal.

"Ya gimana? Yang punya rumah ajah ngga mau," tukas Iroh.

"Udah kamu tuh jangan macam-macam," bentak Mbok Sarwi dengan nada meninggi.

Atap yang sudah lusuh dan berdebu membuat tidak nyaman siapa pun yang memandangnya. Warna merah sudah memudar digantikan hitam pekat.
Dinding-dinding retak, sebagai tanda sudah sangat tua rumah yang ditempati Mbok Sarwi.

"Semoga ada rijeki berlimpah bulan ramadhan ini," ucapnya dalam hati
**

Hari semakin sore, hujan pun tiada henti selama dua jam. Menjelang berbuka puasa, para ibu rumah tangga disibukkan menyiapkan makanan. Tapi, beda halnya dengan Mbok Sarwi. Ia sibuk membersihkan rumah. Menyiapkan ember, baskom, dan panci.

"Ma, mau sampe kapan kaya gini. Setiap hujan nampungin air, capek Ma," keluh Iroh.

"Ngga usah ngeluh mulu, kerjain aja," perintah Mbok Sarwi.

Adzan berkumandang, memanggil seluruh umat yang berpuasa untuk berbuka.

Alas rumah Mbok Sarwi tak terlihat, air menutupi lantai kuning rumah itu
Hujan yang turun sekian lamanya, merendam seluruh ruangan kontrakan.
Kasur kapuk tenggelam. Celah-celah atap yang bocor, membuat Mbok dan keluarganya berbuka seadanya. Dengan air putih dan biskuit yang tidak banyak.

Mbok Sarwi hanya bisa menangis dan merasa perih. Ada yang mengganjal di batinnya, kapan ia bisa menikmati berbuka walau hujan mengguyur deras?

Ia hanya bisa menelan mentah impian tersebut.
"Kenapa ga numpang ke bu Nani aja, Ma?," Iroh mengusulkan.

"Jangan, ngga enak kalo sampe harus numpang, ke majikkan" sanggah Mbok Sarwi.

Bagaimana pun Mbok Sarwi tetap bersyukur dengan keadannya, tanpa atap yang bisa melindunginya dari hujan pun ia masih bisa bahagia, asal bersama keluarga.